by

Rentetan Bencana di Indonesia, WALHI sebut Oligarki Penyebabnya

-Nasional-483 views

RadarSumsel.com_JAKARTA– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menuding kelompok oligarki di lingkaran pemerintah menjadi salah satu penyebab rentetan bencana alam di sejumlah wilayah Indonesia dalam beberapa pekan terakhir ini.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mengatakan bencana alam bisa diklasifikasi menjadi dua, yakni bencana yang disebabkan oleh posisi Indonesia pada tiga pertemuan lempeng besar dan  bencana ekologis.

Menurutnya, bencana ekologis, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan bisa dicegah dengan memelihara lingkungan serta sumber daya alam.

Mengutip data BNPB, dalam rentang 1 Januari-3 Desember 2020 banjir menjadi bencana paling banyak terjadi, dengan total 969 kejadian. Disusul puting beliung 809 kejadian, tanah longsor 514 kejadian, serta kebakaran hutan 325 kejadian.

“Sejak masa Orde Baru sampai hari ini, kita saksikan sumber daya alam kita dikelola secara tidak adil. Walaupun konstitusi sudah menyatakan bahwa sumber daya alam itu digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” kata dia melalui siaran langsung di akun Youtube Bersihkan Indonesia, Jumat (29/1).

Menurut catatan Walhi pada 2018, setidaknya 103,4 juta hektare daratan di Indonesia sudah dibebani izin usaha, mulai dari sektor kehutanan, perkebunan, mineral dan batu bara sampai wilayah kerja minyak dan gas.

Pada 2019, Kementerian Pertanian menetapkan tutupan perkebunan sawit menyelimuti 16 juta hektare lahan nasional. Nur mengatakan luas ini setara 1,2 kali luas pulau Jawa. Itu pun belum termasuk perkebunan sawit yang berdiri secara ilegal.

Nur menyinggung ikatan erat antara pemerintah dan pengusaha. Ia mengutip studi Tempo yang mengungkap 45,5 persen atau 262 anggota DPR terafiliasi dengan 1.016 perusahaan. Menurutnya, dari izin yang diterbitkan, 60 persen daratan di Indonesia sudah dialokasikan untuk korporasi.

Mengacu pada data tersebut, ia mengaku tak heran sejumlah beleid kontroversial yang diduga menguntungkan korporasi seperti UU Cipta Kerja hingga UU Mineral dan Batubara lolos di parlemen.

“Ini kondisi tali temali tadi, oligarki, perkawinan elit ekonomi dan politik,” ujarnya.

Sementara peraturan perundang-undangan yang mendorong kegiatan ekstraktif seperti penggundulan hutan hingga penghancuran lahan gambut, lanjut Nur, berperan besar dalam menyumbang emisi gas rumah kaca yang memperparah krisis iklim.

“Jadi sekarang kita sedang berada dalam lingkungan setan. Karena dampak perubahan iklim itu cuaca ekstrem, curah hujan tinggi, angin puting beliung. Tapi kita tidak sadar dan terus lakukan eksploitasi. Jadi kita ibarat gali lubang kubur sendiri,” tuturnya.

Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Badan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rahma Mary mengatakan negara wajib memastikan hak setiap warga untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat terpenuhi. Ini merupakan amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Sementara situasi alam saat ini, menurutnya, tak sesuai harapan. Ia mencatat hanya dalam 23 hari pada bulan ini, 1,9 juta jiwa harus mengungsi akibat bencana yang merupakan dampak kerusakan ekologis.

Siti mendapati total ada 197 bencana yang terjadi dalam kurun waktu tersebut, di mana banjir meliputi 134 kejadian, longsor 31 kejadian dan puting beliung 24 kejadian.

Setidaknya 184 jiwa menjadi korban dalam rentetan bencana itu. 2.700 orang mengalami luka-luka dan 9 orang dinyatakan hilang. Banjir Kalimantan Selatan jadi salah satu yang paling disorot.

Menurutnya,  BMKG juga telah memprediksi cuaca ekstrem dan puncak musim hujan pada Januari-Februari 2021. Namun, kata Siti, pemerintah tak mengoptimalkan upaya antisipasi dan masalah lingkungan pun diabaikan.

“Pembiaran terhadap kerusakan lingkungan yang berakibat pada kematian rakyat itu adalah jelas pelanggaran hak hidup, hak menjaga kehidupan yang dilakukan pemerintah,” ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim penyusutan luasan hutan bukan faktor utama banjir di Kalimantan Selatan, melainkan perkara cuaca ekstrem.

Namun aktivis hingga pakar menegaskan bahwa cuaca ekstrem merupakan bagian dari krisis iklim yang juga dipicu oleh deforestasi. Pulau Kalimantan sendiri merupakan salah satu penyumbang deforestasi terbesar di Indonesia.

KLHK mendapat terdapat penyusutan tutupan hutan dalam 10 tahun terakhir di Kalimantan. Pada tahun 1990 tutupan hutan mencapai 35 juta hektare, yang kemudian berkurang menjadi 25 juta hektare pada 2019.

Artikel ini telah ditayangkan https://www.cnnindonesia.com/ dengan judul “Walhi Tuding Oligarki Penyebab Rentetan Bencana di Indonesia”

 (**RQ)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *